Pemilu sebentar lagi, Guru harus menjadi filter informasi berita hoax
Kamis, 16 Agustus 2018
Berbagai macam
jenis ilmu sihir pada zaman Nabi Musa adalah sebuah alat bagi penguasa saat itu
untuk membodohi dan menundukan rakyatnya. Maka atas ridho Allah Nabi Musa pun
mendapatkan tongkat sebagai pelantara mu’jizat untuk menandingi para ahli sihir
yang bekerja untuk penguasa. Namun seering perubahan zaman yang berdampak pada
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi hingga saat ini, ular zihir
penguasa Raja Firaun yang beradu dengan tongkat Nabi Musa pun sudah berganti
dengan kabel-kabel hitam penyambung berbagai macam informasi yang sulit kita
bendung. Opini yang belum tentu kebenaranya pun dengan mudah setiap hari dapat
kita baca. Bahkan ratusan berita bohong hampir setiap hari muncul di branda
facebook.
Kita tentu
sepakat, hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Ada beberapa stasiun televisi
dan media berita online yang bekerja atas dasar kepentingan golongan tertentu
saja. Kita pasti belum lupa bagaimana informasi dan suasana pra pemilihan
presiden tahun 2014 yang lalu. Kasus pelanggaran HAM tahun 1988 imbas dari
peristiwa reformasi saat itu, Prabowo dituduh sebagai seseorang yang harus
bertanggung jawab. Sedangkan dikubu lawan, Jokowi pun dituduh sebagai keturun
PKI bahkan diisukan sebagai non muslim. Namun pada kenyataannya hingga saat ini
tidak ada satupun media berita online yang berani bertanggung jawab atas
kebenaran berita tersebut, dan berita-berita tersebut pun sudah terlanjur
dijadikan landasan untuk memilih pemimpin bagi sebagian orang. Juga dari segi
tontonan atau hiburan di layar televisi, siswa-siswi kita setiap hari disajikan
serial film upin-ipin hingga imbasnya ialah mereka lebih hafal bahasa malaysia.
Sementara itu membaca, menulis, dan berbicara bahasa jawa sudah mulai
terlupakan. Ini adalah sebagian kecil saja tentang contoh dari sihir zaman
modern.
Sebentara lagi
kita akan kembali menghadapi masa pemilihan presiden, aroma yang tercium pun
sepertinya masih sama seperti dulu. Berita-berita yang belum tentu kebenarannya
mulai bermunculan kembali, banyak opini yang saling menjatuhkan antar lawan.
Apa lagi pasca pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014 yang lalu, kini
muncul istilah cebong dan kampret.
Disinilah
pendidikan harus lebih berperan aktiv. Sebagai tenaga pendidik kita tidak hanya
dituntut untuk membimbing siswa belajar menghitung, menulis dan membaca saja. Namun
harus lebih dari itu, kita harus bisa berperan sebagai filter dari informasi
apapun yang mereka dapatkan. Dengan cara menanamkan sedini mungkin kepada
mereka tentang sifat kritis dan toleransi. Sifat kritis yang dimaksud ialah agar peserta
didik tidak dengan mudah mempercayai informasi apapun yang belum jelas fakta
kebenaranya. Dengan harapan mereka tidak dengan cepat memiliki kesimpulan
terhadap suatu hal sebelum mempelajarinya secara mendalam. Sedangkan sikap toleransi
yang dimaksud ialah mereka juga bisa menerima dan menelaah suatu informasi yang
bukan dari golongannya, untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan demi
memperoleh sesuatu yang betul-betul dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Serta tidak menjadikan mereka fanatik buta terhadapa satu golongan tertentu
(tidak mudah tersihir).