Tantangan Guru Menghadapi Era Disrupsi
Selasa, 09 Oktober 2018
Seperti diketahui, dunia saat ini sedang menghadapi fenomena disrupsi, situasi dimana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.
Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya sangat luas, mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan. Era ini menuntut manusia untuk berubah atau punah. Tidak diragukan lagi, disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi untuk menandai dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan untuk memanfaatkan dunia teknologi secara produktif.
Tantangan bagi insan pendidikan di era disrupsi adalah bagaimana menciptakan sumber daya manusia yang mampu bertahan dan berkembang dalam era serba inovatif dan kreatif. Tantangan dimaksud adalah menyiapkan peserta didik yang memiliki daya inovasi dan kreatifitas. Di era disrupsi, guru tak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, namun lebih berperan sebagai inspirasitor. Untuk itu, guru harus mampu menjadikan dirinya sebagai jembatan dunia pengetahuan bagi peserta didiknya. Peran guru di era disrupsi menjadi begitu strategis, sebagai salah satu faktor penentu kesuksesan peserta didik dalam mengarungi era disrupsi.
Pertanyaan yang muncul, sudah siapkah para guru menjadikan dirinya sebagai inspirator bagi peserta didik dalam menghadapi tantangan era disrupsi ini? Agar pertanyaan ini terjawab, setidaknya diperlukan data akurat tentang kesiapan guru, baik dalam konteks kompetensi maupun komitmen yang dimiliki. Guna mengetahui peta kompetensi guru, Pemerintah telah menyelenggarakan Uji Kompetensi Guru (UKG), dengan titik tekan mengukur tingkat kompetensi pengetahuan guru, terutama kompetensi profesional dan kompetensi paedagogik. Berdasarkan hasil UKG tahun 2015, diperoleh data bahwa rata-rata UKG nasional adalah 53,02, padahal pemerintah sesungguhnya menargetkan rata-rata nilai di angka 55. Selain itu, diketahui pula bahwa rerata nilai kompetensi profesional adalah 54,77, dan rerata nilai kompetensi pendagogik adalah 48,94.
Informasi hasil UKG tersebut harus dijadikan sebagai bahan evaluasi bersama, baik oleh guru maupun para pengambil kebijakan. Seandainya hasil UKG disetarakan dengan rapor guru, maka dengan logika sederhana dapat dikatakan bahwa jika hasil UKG guru tidak baik, maka kedalaman pengetahuan guru tersebut juga tidak baik. Padahal di sisi lain, guru adalah role model yang diharapkan memiliki pengetahuan luas dan mendalam. Tentu tidak terlalu berlebihan jika kemudian muncul kehawatiran akan kualitas pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru dengan kedalaman pengetahuan yang terbatas tersebut.
Baca juga :
- Pendidikan anak tanggung jawab siapa
- Melatih kecerdasan otak anak di usia dini
- Pendidikan agar menjadi anak yang berakhlaq baik
Diakui, tidak mudah mengukur korelasi antara hasil UKG dengan profesionalitas guru. Dalam kenyataan, ditemukan guru dengan hasil UKG baik tapi cara mengajarnya tidak profesional, akibatnya siswa mengeluh. Namun di sisi lain, ada guru dengan hasil UKG tidak istimewa, tetapi justru mampu membuat siswa bergairah dalam belajar.
Terkait konteks profesionalisme guru, pemerintah juga menggulirkan kebijakan sertifikasi guru, yaitu pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang dinilai telah memenuhi standar profesi guru. Sejatinya, guru melakukan sertifikasi adalah untuk membuktikan kemampuannya dalam mengajar. Sedangkan pemerintah berusaha memberikan reward atas kemampuan tersebut melalui pemberian tunjangan profesi. Namun belakangan ini nampaknya telah terjadi pergeseran makna sertifikasi guru. Sertifikasi guru baru sebatas “mensejahterakan”, belum sampai meningkatkan kompetensi. Bukan jaminan bahwa guru yang telah memiliki sertifikat pendidik memiliki profesionalisme dan tanggung jawab yang baik. Sekalipun tidak dapat digeneralisasi, namun tak dapat dipungkiri bahwa kritik tajam tersebut dapat dijumpai dalam realitas. Contoh sederhana profesionalitas dan tanggung jawab guru adalah selalu memastikan bahwa semua peserta didik mendapatkan hak dan pengalaman belajar yang dibutuhkan, bukan sekadar hadir dalam kelas namun pikirannya berada di tempat lain. Profesionalisme guru sesungguhnya dilihat dari kinerjanya, baik kinerja proses maupun kinerja hasil.
Mengingat bahwa guru merupakan salah satu aktor utama dalam menghadapi era disrupsi, maka berbagai permasalahan guru sebagaimana terurai di atas harus dicari solusinya. Mengawali langkah, yang perlu dilakukan adalah membangun komitmen dan sinergi bersama antara pemerintah selaku pengambil kebijakan dan para pelaku teknis di tingkat satuan pendidikan, dalam hal ini kepala sekolah dan para guru.
Saat mendapati hasil UKG yang masih jauh dari harapan, Pemerintah perlu terus mengagendakan program-program untuk memberikan pembinaan dan penguatan kompetensi guru. Di tingkat satuan pendidikan, kepala sekolah perlu membangun komitmen dan budaya mutu, diantaranya dengan memastikan terselenggaranya pembelajaran berkualitas di sekolah yang dipimpin. Sedangkan bagi para guru, perlu kiranya senantiasa membangun budaya belajar sepanjang hayat dan adaptif terhadap dinamika dunia pendidikan sebagai wujud tanggung jawab profesi. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh : Amiroh Ambarwati
Beliau adalah
Widyaiswara Teknis Pendidikan Balai Diklat Keagamaan Semarang,
Mahasiswa Program Doktor Manajemen Kependidikan UNNES
---------------------------------------
Tulisan ini sebelumnya sudah pernah diterbitkan di koran Suara Merdeka pada tanggal 4 Oktober 2018.